Archive for category Book Review

Book Review: Lean In

from npr.org

from npr.org

Tentang Wanita dan Peran Kepemimpinan

Judul                     : Lean In: Women, Work, and the Will to Lead

Penulis                 : Sheryl Sandberg

Penerbit              : Knopf/11 Maret 2013

Tebal                     : 240 Halaman

ISBN                      : 978-0385349949

Peresensi            : Yudo Anggoro, Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB

Sheryl Sandberg, Direktur Operasi Facebook , memiliki mimpi untuk meyakinkan dunia bahwa kaum wanita juga memiliki kemampuan yang setara dengan kaum pria. Sandberg yang baru saja terpilih menjadi salah satu dari 100 tokoh berpengaruh dunia versi majalah Time ini begitu percaya bahwa wanita pun mampu menduduki posisi yang strategis dan berpengaruh di setiap bidang yang mereka tekuni.

Impian Sheryl tentu saja sangat beralasan. Apa pasal? Peran kepemimpinan di dunia saat ini masih didominasi oleh kaum Adam. Misalnya, dari 195 negara berdaulat di dunia ini, hanya 17 diantaranya yang dipimpin oleh pemimpin wanita. Di lembaga legislatif pun situasinya tidak jauh berbeda. Kaum wanita secara rata-rata global hanya menempati 20% dari komposisi anggota parlemen (anyway, Indonesia punya rasio lebih baik, 30%, yang diatur dalam Undang-undang). Dunia bisnis juga masih memandang sebelah mata pada peran kaum pebisnis dan profesional wanita. Di tahun 2011 McKinsey melaporkan bahwa profesional pria mendapatkan promosi karena potensi yang dimilikinya, sedangkan profesional wanita diberikan promosi terkait degan prestasi yang pernah diraihnya. Artinya, wanita harus memberikan bukti terlebih dahulu sebelum diakui kemampuannya.

Sheryl mencermati adanya fenomena yang ia sebut sebagai leadership ambition gap yang melanda kaum wanita saat ini. Ini adalah situasi ketika wanita kurang memiliki ambisi untuk mengambil inisiatif kepemimpinan meskipun memiliki segala kompetensi yang dibutuhkan untuk ada di posisi puncak. Secara akademis wanita memiliki performa yang lebih cemerlang dibandingkan pria. Terbukti di Amerika Serikat misalnya, 57 persen sarjana dan 60 persen pemegang gelar master adalah kaum Hawa. Namun jika berkaitan dengan ambisi kepemimpinan, hanya 18 persen wanita yang bersedia mengemban tanggung jawab tersebut, dibandingkan dengan 36 persen kaum pria. Hal ini juga berkaitan dengan faktor budaya dan norma sosial yang menganggap wanita ambisius sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Stereotype yang menganggap kaum pria dominan dalam memimpin inilah yang akhirnya membuat wanita menjadi memiliki perasaan yang inferior dibandingkan pria. Pria yang sukses cenderung menganggap bahwa apa yang telah diraihnya adalah berkat kemampuan pribadinya, sementara wanita lebih memberikan kredit pada faktor eksternal. Wanita yang sukses cenderung berpendapat bahwa kesuksesannya adalah karena ia telah bekerja keras, cukup beruntung, atau karena bantuan orang lain. Sandberg bahkan mengalami sendiri stereotype ini dalam proses penawaran perdana saham Facebook tahun lalu ketika harian terkemuka The New York Times menganggap kesuksesannya dalam memimpin operasional Facebook karena “cukup beruntung” dan “memiliki mentor yang tepat” (halaman 30).

Sebuah eksperimen menarik yang menguji persepsi  tentang kemampuan pria dan wanita di tempat kerja dilakukan oleh  Frank Flynn, professor di Columbia, dan Cameron Anderson, professor di New York University di tahun 2003. Penelitian tersebut bertujuan mengukur persepsi mahasiswa terhadap kisah seorang pengusaha sukses, Heidi Rozen. Kedua professor tersebut membagi para mahasiswa ke dalam dua kelompok: kelompok pertama diminta membaca kisah tentang Heidi; sementara kelompok kedua juga diminta membaca kisah yang sama, hanya saja nama sang tokoh diganti menjadi Howard. Kedua kelompok mahasiswa tersebut menilai Heidi dan Howard memiliki kemampuan yang sama, namun persepsi mereka teryata berbeda 180 derajat. Heidi dinilai sebagai orang yang egois, arogan, dan ambisius, hanya karena ia adalah wanita yang sukses. Sementara Howard disukai karena bekerja keras dan memiliki ambisi untuk terus maju. Ketika seorang pria sukses, maka ia akan cenderung disukai banyak orang, namun ketika seorang wanita sukses, ia akan cenderung dijauhi. Maka amatlah wajar jika wanita cenderung menahan diri jika berkaitan dengan ambisi untuk sukses.

Tentu saja Sheryl menolak keras stereotype  negative tantang wanita yang sukses tersebut. Mencermati karir Sheryl memang menunjukkan bahwa ia bukanlah sosok wanita yang bisa mudah diremehkan. Kariernya sangat cemerlang. Selepas lulus sarjana dari Harvard, ia langsung menjadi asisten Larry Summers, kala itu adalah kepala ekonomi di Bank Dunia. Sembilan bulan di Bank Dunia, Sheryl melanjutkan studi MBA di Harvard, dan kemudian bekerja di McKinsey begitu lulus. Setahun di McKinsey, Sheryl kembali ditarik oleh Larry Summers untuk menjadi kepala staf ketika Larry menjabat  Menteri Keuangan di masa kepemimpinan Presiden Clinton. Di sini Sheryl menunjukkan kepiawaiannya dalam mengelola anggaran Departemen Keuangan yang mencapai $14 Milyar. Ketika periode Clinton berakhir, maka Sheryl langsung terbang ke pantai barat Amerika untuk berlabuh di Google, sebelum berakhir di Facebook hingga kini.

Banyak kisah kecil menggelitik yang dijumpai di buku ini. Misalnya nasihat kecil dari Eric Schmidt, kala itu CEO Google, ketika Sheryl merasa ragu menerima tawaran pekerjaan dari Google hanya karena saat itu Google bukanlah “apa-apa” seperti yang kita lihat sekarang. Schmidt mangajarkan  bahwa hal paling penting yang diperhatikan dalam menerima sebuah pekerjaan baru adalah potensi perusahaan untuk tumbuh berkembang. Perusahaan yang berpotensi untuk berkembang pesat akan memiliki pekerjaan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah karyawan. Sementara, perusahaan yang stagnan dan cenderung menurun justru kelebihan karyawan, atau hanya ada sedikit pekerjaan yang  dapat dilakukan lagi.

Sebagai seorang eksekutif, Sheryl juga menganjurkan kita untuk memiliki rencana 18 bulan dalam pekerjaan. Rencana 18 bulan ini mempunyai dua target: yang pertama dan utama adalah target yang harus diselesaikan oleh tim kita, dan target yang kedua adalah pengetahuan atau kemampuan baru yang harus dikuasai dalam rentang waktu tersebut. Rencana 18 bulan ini penting untuk membuat tim kita berkembang sekaligus membuat kita terus belajar meningkatkan kapasitas pribadi.

Melalui buku ini, terlihat upaya Sheryl dalam memberikan inspirasi kepada kaum wanita untuk menunjukkan potensi yang dimiliki sekaligus menghapus stereotype yang merugikan kaum wanita. Paling tidak saat ini di kalangan perusahaan teknologi terkemuka, selain Sheryl yang sukses di Facebook, ada juga Marissa Mayer sang CEO Yahoo sebagai representasi eksekutif wanita di tengah dominasi eksekutif pria. Sheryl meyakini bahwa semua orang memiliki ruang dan kapasitas untuk terus berkembang, dan kesempatan itupun juga terbuka luas bagi kaum wanita dimanapun di dunia.

Satu lagi, bagi yang tertarik untuk mendengarkan inspirasi dari Sheryl, maka presentasi Sandberg selama kurang lebih 15 menit di TedX forum patut untuk menjadi rujukan.

(Published in SWA Magazine No. 17/2013)

, , ,

2 Comments