Posts Tagged kebiasaan

Book Review: The Power of Habit

Image

Judul                     : The Power of Habit: Why We Do What We Do in Life and Business

Penulis                 :  Charles Duhigg

Penerbit               : Random House (28 Februari 2012)

Tebal                    : 400 Halaman

ISBN                    : 978-1400069286

Harga                   : $ 28.00

Peresensi            : Yudo Anggoro, Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung

Tesis yang dimiliki buku ini cukup provokatif, bahwa hampir semua keputusan yang kita ambil setiap harinya bukanlah hasil dari proses berpikir yang obyektif, melainkan akibat dari kebiasaan yang rutin kita lakukan. Berita baiknya adalah bahwa kebiasaan dapat dirubah, asalkan kita mengetahui bagaimana cara mengubahnya. Untuk memperkuat argumentasinya tersebut, Charless Duhigg, penulis buku ini yang juga jurnalis di The New York Times, melakukan riset yang melibatkan wawancara dengan lebih dari tiga ratus ilmuwan dan eksekutif, dan meneliti berbagai kebiasaan yang berlaku di level organisasi dan masyarakat.

Struktur buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang kebiasaan di level individu, salah satunya tentang bagaimana cara menanggalkan kebiasaan lama yang buruk dan mengubahnya menjadi kebiasaan baru yang lebih produktif. Bagian kedua bercerita tentang kebiasaan dari beberapa organisasi sukses seperti Starbucks, Procter & Gamble, hingga Target.  Bagian terakhir membahas tentang kebiasaan baik yang dapat dilatih dan berlaku di tengah masyarakat.

Bagaimana sebenarnya kebiasaan bekerja? Riset yang dilakukan para peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) sejak awal 1990-an menyimpulkan bahwa pusat pengatur kebiasaan manusia terletak di dalam bagian otak yang disebut basal ganglia (halaman 15). Setiap kali kita memulai sebuah aktivitas baru, maka basal ganglia akan merekam aktivitas tersebut dan mengenali pola-pola yang terjadi. Semakin sering kita melakukan aktivitas tersebut, maka basal ganglia akan segera mengenali pola dan pemicunya, kemudian secara otomatis akan memerintahkan bagian-bagian tubuh lainnya untuk memberikan reaksi, terbentuklah sebuah kebiasaan baru. Ketika sebuah kebiasaan baru terbentuk, maka otak kita akan berhenti berpartisipasi penuh dalam proses pengambilan keputusan, dan membiarkan tubuh kita secara tidak sadar bereaksi sesuai pola-pola yang tersimpan dalam basal ganglia. Celakanya, proses ini tidak membeda-bedakan apakah kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang baik atau yang buruk. Ketika basal ganglia mulai mengenal pola-pola kebiasaan buruk, maka kita secara otomatis akan terus melakukan kebiasaan tersebut. Inilah yang menjelaskan mengapa pecandu alkohol ataupun obat-obatan terlarang susah meninggalkan kebiasaan tersebut.

Dengan pola-pola yang membentuk kebiasaan baru tersebut, maka kita dapat memanfaatkannya untuk melakukan kebiasaan baru yang positif, apapun itu. Resepnya hanya ada tiga: adanya pemicu, dilakukan dengan rutin, dan mendapatkan hadiah (reward). Pemicu, bisa juga disebut sebagai penanda, adalah sesuatu yang mengingatkan kita untuk segera melakukan kebiasaan tersebut. Pemicu ini yang akan mengirimkan pesan kepada basal ganglia untuk mencocokkan dengan pola kebiasaan yang telah tersimpan di sana sebelumnya. Rutinitas penting untuk menegaskan pola-pola yang terbentuk di dalam otak kita. Sementara hadiah diperlukan agar otak kita terstimulasi oleh perasaan nikmatnya mendapatkan hadiah ketika kebiasaan tersebut selesai dilakukan. Tidak perlu hal yang besar, cukup hal yang kecil seperti segelas minuman dingin yang segar selesai kita berolahraga. Hadiah ini akan membuat kita secara tidak sadar akan segera melakukan kebiasaan baru tersebut.

Michael Phelps, perenang peraih 14 medali emas di dua olimpiade terakhir, memanfaatkan betul resep ini.  Sejak usia tujuh tahun, Phelps melatih dengan sangat ketat berbagai kebiasaan yang mendukungnya menjadi juara dunia. Mulai dari waktu istirahat, pola dan jenis makanan, asupan kalori, pola latihan, jenis musik yang didengar menjelang pertandingan, hingga melakukan visualisasi pertandingan dalam benaknya, semua dilakukan secara rutin dan terstruktur. Kesemua aktivitas ini yang terekam menjadi pola-pola kebiasaan yang tersimpan di basal ganglia. Akibatnya, pada saat pertandingan berlangsung, seluruh tubuhnya secara otomatis akan bekerja mengikuti pola-pola tersebut.

Resep yang sama juga dapat diterapkan di level yang lebih besar, yaitu membentuk kebiasaan organisasi yang positif. Starbucks misalnya, perusahaan kopi raksasa ini sengaja membentuk kelas-kelas formal bagi seluruh karyawannya untuk melatih sebuah kebiasaan, yang mereka sebut sebagai kemauan keras (will power). Starbucks meyakini bahwa kemauan dan tekad yang keras merupakan kebiasaan yang penting bagi individu yang sukses (halaman 132). Untuk melatih kebiasaan ini, Starbucks juga menerapkan resep kebiasaan serupa: dimulai dengan pemicu, dilakukan dengan rutin, dan akhirnya mendapatkan hadiah. Misalnya, dalam menangani keluhan pelanggan, Starbucks menerapkan kebiasaan LATTE (Listen, Acknowledge, Take Action, Thank, dan Explain). Ketika seorang pelanggan hendak mengajukan keluhan, maka karyawan segera mengenali penandanya berupa muka yang marah ataupun suara yang meninggi. Yang harus dilakukan karyawan adalah mendengarkan dengan baik, memahami permasalahan yang diadukan, mengambil langkah perbaikan dengan segera, berterima kasih kepada pelanggan, dan menjelaskan mengapa masalah dapat terjadi. Hadiah yang didapat oleh karyawan adalah pelanggan yang puas dengan pelayanan yang diberikan. Metode LATTE ini yang dilatih berulang-ulang di akademi Starbucks sehingga otomatis menjadi kebiasaan bagi seluruh karyawan, dan karyawan memiliki keinginan kuat untuk melayani konsumen dengan sebaik-baiknya.

Di level masyarakat, kebiasaan juga dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan dukungan publik atas isu-isu yang tengah berkembang di masyarakat. Ini dicontohkan dalam gerakan hak-hak sipil yang menentang segregasi rasial di Amerika Serikat (AS) di tahun 1955. Martin Luther King, Jr., pemimpin gerakan tersebut, paham betul bagaimana memanfaatkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Kebiasaan sosial terbentuk dengan memanfaatkan jaringan-jaringan sosial di tengah masyarakat. Dengan jaringan sosial tersebut, sebuah isu akan dengan cepat menyebar dan mendapatkan dukungan luas. Martin Luther King, Jr., memanfaatkan jaringan sosial ini untuk meraih simpati masyarakat sehingga pada akhirnya kaum-kaum ras minoritas di AS mendapatkan kembali hak-haknya.

Satu hal yang pasti, kita harus memahami bahwa resep kebiasaan positif yang diajukan di buku ini tergantung pada kedisiplinan setiap individu yang menerapkannya. Resep tersebut hanyalah sebuah kerangka berpikir bagi kita untuk memahami bagaimana kebiasaan bekerja, dan bagaimana kebiasaan tersebut dapat berubah. Merubah sebuah kebiasaan, apalagi kebiasaan yang buruk, adalah hal yang sangat berat, dan kadangkala kegagalanpun dapat terjadi. Namun, begitu kita mampu memahami pola-pola yang terbentuk dalam sebuah kebiasaan, maka kita akan dengan mudah menguasainya.

(Published in SWA No. 11/2012)

, , ,

4 Comments